Sabtu, 13 Januari 2018

Walimahan

Catatan Eka Rosaria

Walimatul ursy atau perayaan pernikahan adalah sunnah yang tentunya berpahala. Dengan sederhana hanya dengan seekor kambing atau lebih dari itu dengan makanan beragam dan segala kemewahannya.

Bagi tuan rumah, menyediakannnya menjadi satu kebahagiaan. Begitu pun bagi yang para tamu yang datang. Tapi akan menjadi sejelek-jeleknya makanan jika perayaan itu hanya mengundang orang kaya sementara orang miskin terlupakan.

Entah kenapa, selalu terselip rasa sedih saat menghadiri walimah yang menyediakan makanan secara prasmanan. Seiring waktu, hari ini memang sudah jarang orang menyediakannya dalam bentuk wadah. Berbeda dengan zaman saya kecil dulu. Zaman dulu, setiap tamu yang datang akan disuguhi cemilan alakadarnya kemudian nasinya dan lauknya diwadahi besek untuk dibawa pulang. Berbeda dengan hari ini.  Makanan tersedia prasmanan beraneka ragam dan rasa. Kita bebas mengambil dan memilihnya.  Ditambah minuman dan makanan lain yang tak kalah menarik untuk dicicipi.

Setiap orang seperti berlomba mengambil semua makanan sebanyak-banyaknya lalu makan sesedikit mungkin. Entah apa yang ada di pikirannya saat mengambilnya. Menyisakan banyak nasi dan lauk yang tak jarang masih utuh di piringnya. Gengsi atau sekedar ingin mencicipi?

#
Siang yang meriah pada sebuah walimah. Para tamu berdatangan silih berganti. Menikmati makanan yang melimpah di atas meja prasmanan.

Saya mencari tempat duduk setelah mengambil makanan. Terlihat di satu kursi satu piring penuh makanan. Daging rendang yang masih utuh, ayam kecap juga utuh, serta nasi dan lauk lainnya yang terlihat hanya sedikit sekali terambil. Saya menghela nafas. Sedih menyeruak. Rasanya sakit. Lebay?  Tidak!

Dan saya mengambil rendangnya yang utuh itu dan saya berikan pada teman saya lalu dia habiskan. Malu? Mungkin, tapi saya lupakan rasa malu itu.

Bagi sebagian orang, ada yang setahun sekali baru ketemu yang namanya daging, menunggu saat idul adha tiba. Bahkan mungkin ada yang tidak pernah.

Lalu bagaimana dengan kondisi sodara muslim di belahan bumi lain dengan suasana kelaparan mendera begitu hebat? Lalu kita  di sini dengan seenaknya membuang begitu banyak makanan? Hasbunalloh..

Saya masih ingat dengan sebuah tayangan video anak-anak muslim di Suriah sana, dengan berlinang air mata dia bilang kalau sudah tiga hari tidak ketemu makanan. Lalu ada anak-anak yang mengais remahan roti di jalanan. Saya menangis melihatnya, andai dia anak kita, anak kalian, saya yakin kalian pasti akan menangis, bahkan hati rasanya sakit sesakit-sakitnya.

Kondisi terbuangnya makanan saat walimah ala prasmanan membuat saya berpikir lain. Saya bicara dengan suami tentang hal ini. Tentang sebuah pernikahan dan walimahnya yang tidak menimbulkan dosa karena mubadzir.

"Mungkin satu saat nanti, kita akan mengadakan walimah nikah cukup di masjid sesudah kajian subuh. Makan dengan jamaah yang ada. Atau cukup datang ke KUA,, lalu makanannya kita bagikan ke panti asuhan."

Itu cita-cita suami dan saya. Saya hanya ingin pernikahan yang berkah dan tidaklah datangnya keberkahan kecuali dengan sesuatu yang baik dan tidak meninggalkan dosa.

#

Setiap tuan rumah berhak mengadakan walimah dengan sederhana atau lebih dari itu.  Tapi perlu dipikirkan, bahwa semuanya harus mendatangkan pahala dan tidak meninggalkan dosa. Menyediakan kursi sesuai dengan kapasitas undangan dan menyiapkan tempat berbeda antara lelaki dan perempuan supaya tidak ikhtilath.

Nikah adalah sunnah. Walimah adalah sunnah. Dan keberkahan tidaklah didapatkan kecuali dengan kebaikan. Membentuk keluarga samara tidak hanya suami istri yang melaksanakan hak dan kewajiban di antara keduanya. Tapi juga diawali saat mulai kenalan, lamaran, nikah, walimah, semuanya harus dilakukan dengan baik sesuai cara yang disyari'atkan. Tidak melanggar aturan dan tidak melakukan kesia-siaan. Hingga nanti Alloh turunkan keberkahan pada rumahtangganya dan juga keturunanya.

Alloohu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar