Sabtu, 30 November 2019

Status medsosmu atau kiprahmu?

STATUS MEDSOSMU, ATAU KIPRAHMU? 

Belajar menilai adil pada orang lain itu wajib hukumnya. Agar tidak jatuh pada bermudah-mudahan meremehkan dan buruk sangka. Sungguh saya pun banyak belajar dari dunia baru ini, era media sosial. Di mana kita tidak pernah tahu persis antara kenyataan atau bukan soal kehidupan orang lain. 

Saya pun belajar berdamai dengan status orang lain yang bukan standar kita, tidak kita sukai, atau status yang terlihat santai seolah tidak pernah peduli soal agamanya. Karena tujuan setiap orang aktif di media sosial ini pun pastinya berbeda antara kita dengan yang lain. Ada yang sekedar untuk hiburan di tengah banyaknya pekerjaan rumah, atau sekedar sesempatnya saja. Atau serius untuk berdakwah, menyebarkan ilmu. Semuanya bisa difahami. Asal tidak keluar dari prinsip, tetap dalam koridor.

Di medsos ini, teman saya begitu banyak. Baik ikhwan atau pun akhwat. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena dari banyak para Ustadz, teman angkatan, saya bisa mengambil banyak ilmu dari mereka. Asal tetap berlaku sopan saat komentar, bagi saya tidak masalah. 

Banyak teman yang aktif di medsos, sudah otomatis banyak status yang lewat di beranda kita. Macam-macam isinya. Dari yang santai sampai yang serius. Dari masalah hiburan sampai pelajaran penting dalam bab agama. Dari yang cuma suka posting makanan sampai jalan-jalan. Lengkap semuanya. Ibarat makanan prasmanan. Kita bisa memilih mana yang mau kita baca atau kita lewati saja. Tidak perlu dibuat pusing. Apalagi seleranya harus sama dengan kita. Tidak mungkin. Kurang kerjaan. Jangan merepotkan diri sendiri hanya karena status medsos. Selama isinya bukan ngajak maksiat, saya damai-damai saja. 

Status medsos tidak selamanya mencerminkan kehidupan asli seseorang. Bahkan soal nama. Ada yang memakai nama asli, ada yang samaran. Dari situ saja harusnya kita bisa menilai bahwa medsos ini bukan patokan kita menilai orang lain. Ada yang statusnya santai, becanda, hiburan, tapi ternyata dia adalah seorang yang punya kiprah penting dalam dunia dakwah yang merupakan kewajiban kita, sekecil apa pun peran itu. 

Tapi ada juga yang statusnya fokus masalah taushiah, artikel Islami, tapi akhirnya setelah ada yang curhat valid, ternyata dia seorang laki-laki yang hobinya merayu perempuan di inbox. Begitulah dunia medsos. Tidak bisa kita pukul rata dalam menilai. 

👀 Ada seorang teman di medsos yang statusnya sering remeh, curhatan, hiburan. Ternyata beliau seorang pengelola pesantren dengan banyak prestasi dalam dunia dakwahnya. Mengajak dan membina ummat. 

👀 Ada teman yang statusnya sering soal sedang jalan ke sana ke sini, sedang acara ini dan itu yang kelihatannya tidak ada kaitannya dengan dakwah. Tapi ternyata, beliau dengan suaminya adalah pemilik pesantren it yang menggratiskan muridnya. Membina mereka agar ke depannya mengamalkannya untuk dakwah. 

👀 Ada seorang teman yang statusnya hanya jualan saja. Dia fokus bermedsos untuk dagang. Tapi saya tahu, dia seorang guru yang mengajari para ibu belajar alqur'an. Punya tempat husus untuk dakwah pada masyarakat sekitarnya. Sukses punya anak banyak dan hampir semua hafal qur'an. 

👀 Ada teman di medsos yang statusnya biasa saja. Bisa jadi tidak ada hubungannya dengan dakwah. Tapi ternyata kiprahnya dalam masyarakat begitu besar. Menjadi guru belajar Alqur'an, bahkan berinfaq sampai ratusan juta untuk sodaranya di belahan bumi Syam. 

Sungguh, masih terlalu banyak contoh teman lainnya yang menggunakan medsos untuk hal sekedarnya, tapi punya kiprah luar biasa dalam dunia dakwah. Dakwah yang memang kewajiban bagi kita, sekecil apa pun peran kita. 

Maka, tidak perlu merepotkan diri mengatur orang lain supaya bikin status seperti kita. Repot sendiri karena status poligami yang sering saya tulis.

Kenapa begitu seringnya saya menulis kisah poligami? Karena memang lingkungan saya, teman-teman dekat saya, mereka pelaku poligami. Ada banyak pelajaran yang bisa saya tuliskan. Bukan membuka aib. Tapi kisah supaya jadi pelajaran. Dengan catatan bahwa saya tidak pernah menuliskan nama dan tempat. 

Semoga saya tidak repot memaksa orang lain agar status medsosnya sama seperti saya. Saya ingin damai dan merdeka. Karena kiprah kita di dunia nyata itu jauh lebih penting. 

KITA WAJIB TAHU BAHWA TERNYATA KEBAIKAN DAN AMAL SHOLEH ORANG LAIN TERNYATA JAUH LEBIH BANYAK DARI KITA SENDIRI. Cukup itu saja prinsip kita. 

Sekian

Suami pengecutPengecut

Suami pengecut

Pada akhirnya, saya hanya bisa mendoakan ketika ada seorang suami yang menikah lagi. Punya istri ke dua. Bagaimanapun, bisa jadi ada hal yang membuatnya mengambil keputusan itu. Asal siap dengan segala konsekuensinya, saya kira itu adalah hak pribadi. Meski tetap saya nasehatkan, dipikir ulang, ditimbang baik-baik, agar poligaminya menjadi solusi. Bukan sekedar nambah istri. 

Hingga akhirnya istri ke dua menangis. Baru sebulan menikah lalu dicerai. Alasannya sudah bisa ditebak. Ketahuan istri pertama. Si suami tiba-tiba jadi penakut. Menyerah pada amarah yang ternyata sulit baginya untuk tetap di posisi tenang dan adil. 

Kehidupan selanjutnya adalah kesedihan bagi yang ke dua. Luapan amarah tak bisa dicegah dari yang pertama. Sementara si suami tak berdaya. Menyerah tidak bisa berbuat apa-apa. Menjadi pengecut. Lalu hilang seolah tidak punya tanggungjawab. 

Saya tak pernah masalah dengan pelaku poligami. Kecuali pelakunya saya kenal dan ternyata bermasalah. Maka, biasanya nurani membela itu keluar dengan sendirinya. 

Saya pernah menyuruh istri pertama agar menyusul suaminya yang sedang ada di rumah istri ke dua. Emosi saya ikut tinggi. Tak peduli itu rumahtangga orang lain. Bagaimana saya akhirnya ikut campur dalam rumahtangganya? 

Saya mengunjunginya di satu waktu. Mendapati ke tiga anaknya yang masih kecil-kecil itu sakit demam. Dia sendirian. Suaminya tidak ada. Ditelpon berkali-kali tidak diangkat. Berlangsung beberapa hari. Dia sendirian mengurus anaknya. Saat itu, anak pertama pun masih kecil. Belum sekolah. Bisa dibayangkan repotnya. Lalu ibunya pun akhirnya ikut sakit. Lelah. 

Saya tak tega. Lalu saya tanya di mana suaminya. Dia bilang kalau sedang di rumah yang ke dua. Tapi dia sendiri kebingungan mengurusi tiga anaknya yang berbarengan sakit. Jelas sekali. Butuh suami disampingnya. Butuh sekali dukungan suami. Manusia normal pasti faham. Entah. Inilah saking emosinya saya. 

Saya suruh dia naek ojeg menyusul suaminya. Urusan ribut biarlah urusan belakangan. Yang penting dia bertemu dulu dengan suaminya dan tahu kabar anak-anaknya. Betul saja. Suaminya ada di sana. Sedang asik dengan istri ke duanya. 

Apakah dilarang? 
Tentu tidak! 

Tapi siapapun faham. Itu suami punya tanggung jawab terhadap istri yang lain dan juga anak-anaknya. Suami harus bisa adil membagi waktu dan perhatian. Kalau terlalu asik dengan yang lain lalu abai dengan lainnya, itu sudah dzolim. 

Sebagai perempuan, istri, saya hanya ingin sedikit berpesan. Jika kalian para suami satu saat ingin poligami, pastikan posisi istri sudah siap jika ada hal-hal yang terjadi sementara suaminya tidak sedang bersamanya. Apalagi kalau anak-anaknya masih sangat kecil-kecil. Saya masih ingat, anak ke tiganya saat itu masih belum dua tahun. Bisa dibayangkan? 

Janganlah jadi suami pengecut. Yang hanya BERANI poligami. Tapi TAKUT dengan konsekuensi. 

Saya salut dengan para suami yang akhirnya poligami, tapi mampu mengambil waktu sekian tahun untuk mendidik istrinya agar pada saatnya siap apa-apa dilakukan sendirian tanpa selalu harus ada suami karena waktunya yang jelas terbagi. 

Semoga ga ada emak-emak yang selalu menuduh wanita yang sudah ngaji wajib mau dipoligami. Bagi saya. Poligami urusan masing-masing. Hanya saja ketika muncul menjadi 'kasus', kita orang terdekat biasanya ikut terbawa perasaan. 

Semoga yang sudah menjalani poligami, diberkahi Alloh sehingga menjadi contoh baik bagi lainnya. 

Bagi suami yang BERANI poligami tapi ternyata pada akhirnya menjadi PENGECUT, banyak-banyaklah istighfar. Muhasabahlah, barangkali ada hak Alloh yang diabaikan, sehingga poligamimu juga berantakan.

Rabu, 14 Agustus 2019

Jangan sakiti istri

Catatan hati seorang istri

"Nak, kalau suatu saat nanti kamu menemukam ibu sudah tidak bernyawa lagi, kamu sudah tahu pelakunya siapa".

Pesan seorang ibu kepada anak lelakinya. Saat dirinya sudah ada di ujung rasa. Tidak kuat lagi. Puluhan tahun bukan waktu yang singkat bagi rumah tangga yang dijalaninya. Selama itu pula batinnya tertekan. Suaminya bukan saja pemalas, suka minum, tapi juga suka main tangan. Ringan sekali. Puluhan tahun itu pula hidupnya hanya bergantung pada pemberian keluarga suaminya. Bukan usaha sendiri. Karena memang mereka kaya raya. Hingga akhirnya, si ibu memilih mengakhiri saja rumah tangganya. Daripada harus mati konyol di tangan suaminya. Dia kembali ke kampung halamannya. Hidup seadanya. Bahkan kekurangan. Tapi paling tidak, batin dan raganya bebas. Tidak lagi jadi samsak katena menjadi pelampiasan emosi suaminya.

Kabar perceraiannya membuat saya bahagia. Alhamdulillah. Biarlah berpisah. Daripada harus terus disiksa. Lahir dan batinnya.

Mengingat kisahnya, saya teringat dengan seorang tetangga dekat. Belasan tahun lalu.  Sebut saja Rani. Seorang istri dengan sifatnya yang pendiam.

Saya kadang merasa heran dengannya. Kenapa bisa menikah dengan lelaki itu? Suaminya. Seorang lelaki dengan paras tidak jelek, tapi juga tidak terlalu tampan. Penghasilannya biasa saja. Tidak berlebih. Seorang guru les biasa.

Selama rumahtangga, Rani dan suaminya berjauhan. Pulang hanya beberapa kali dalam seminggu, atau sebulan. Saat itu anaknya baru satu. Lelaki. Masih terhitung balita.

Cerita awal pernikahannya ternyata hanya satu saja alasannya. Menurut suaminya, Rani adalah wanita yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya yang sudah meninggal. Itu saja. Hanya itu.

Saya?
Sungguh heran.

Pertemuan mereka pun tidak disengaja. Pada aslinya. Dipertemukan Alloh dalam satu perjalanan yang sama. Lalu terlibat obrolan. Tidak lama dari itu lantas menikah.

Sudah saya tulis. Rani itu sifatnya pendiam. Di mata saya. Entah, pendiam karena masalah, atau memang aslinya begitu. Tapi makin lama makin diam. Bahkan saat ngobrol dengan saya, selalu saja ada air mata yang tidak dapat dia tahan. Meskipun selalu dia akhiri dengan senyuman.

Akhirnya saya tahu. Dia sakit. Hati dan raganya. Bahkan dia jujur, kalau dia sering tidak bisa mendengar. Alias budeg, kata dia. Sambil tersenyum getir. Sungguh sangat dipaksakan. Kepala belakangnya sering terasa sakit luar biasa. Bekas pukulan tangan suaminya.

Rani istri yang bermasalah?
Tidak. Saya bersaksi bahwa dia istri yang baik. Hanya saja sejak telinganya tidak mendengar dengan jelas, lalu perintah atau permintaan suaminya sering dia acuhkan. Bukan tidak taat, tapi tidak terdengar. Setelah itu, suaminya akan marah besar. Meski awalnya hanya masalah kecil. Sangat emosional sekali. Itulah sifat suaminya. Salah sedikit, maka mulutnya akan bicara kasar, dan tangannya akan melayang. Memukul Rani.

Saya?
Tak bisa berbuat banyak untuk menolongnya. Karena Rani selalu saja menghindar ketika dia "sedang" disiksa suaminya. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Lalu berusaha sabar dan menerimanya. Baginya, suaminya adalah tempat baktinya. Meskipun wajahnya tak bisa berbohong saat bertemu, karena bekas siksaan itu ada di sana. Kasihan.

Sampai satu hari, Rani dan suaminya pindah ke Jakarta. Rumahnya dijual. Karena usaha suaminya mengalami kemunduran. Ekonominya jatuh. Sampai akhirnya kabar terakhir saya terima. Rani menyerah. Memilih bercerai. Setelah anaknya yang dulu masih balita itu meninggal.

Saya bahagia mendengarnya. Biarlah dia lepas dari suaminya yang bagi saya tak lebih dari seorang predator. Karena bicaranya yang kasar dan tangannya yang selalu melayang. Suami yang kasar dan suka main tangan itu membahayakan. Tidak pantas disabari terlalu lama.

Maka, saat seorang teman mengadukan kisah tetangganya yang lebih memilih berpisah sementara dengan suaminya karena takut kena pukul lagi, saya sungguh memakluminya. Dia menceritakannya sambil menangis di pelukan teman saya. Mengeluhkan kepalanya yang masih terasa sakit sisa pukulan. Padahal sudah berlalu lebih dari dua bulan. Mengerikan.

Bagi saya, suami adalah seseorang yang jelas sekali punya kekurangan. Entah dari sisi yang mana. Tapi kalau sudah memukul istri dan itu jadi kebiasaan atau tabiat, maka menghindarinya akan jauh lebih baik.

Islam itu adil dan mudah. Menikah dan bercerai sudah diatur. Menikah adalah berkah. Tapi bercerai bukan berarti musibah.

Dan saya terkadang salut pada banyak istri yang masih sanggup bertahan dengan tabiat suami yang suka memukul dan juga kasar. Semoga Alloh ringankan bebannya. Alloh perbaiki rumah tangganya. Tentu saja dengan tambahan syarat. Perbaiki terus hubungan dengan Alloh, semoga Alloh pun memperbaiki hidup kita, rumahtangga kita.

Jangan lupakan satu hal, sebutkan nama suami dalam doa-doa kita. Mintakan kepada Alloh agar dilembutkan hatinya. Dijadikan hatinya penuh dengan kasih sayang kepada keluarga, hususnya kepada istri. Jikapun Alloh belum mengabulkannya, Islam memberikan pilihan. Bertahan, atau berpisah.

Eka Rosaria

Rabu, 30 Januari 2019

Luka hati

Luka hati seorang istri memang terasa sulit diobati. Butuh waktu panjang hingga akhirnya luka itu akan menutup perlahan seiring limpahan cinta Alloh lewat suaminya. Lewat pengertian suaminya yang dengan tanpa gengsi akan meminta maaf jika memang bersalah. Lewat kehangatan sikap suaminya dalam tutur lembut katanya dan senyumnya yang menunjukkan cinta dan penerimaan atas apa pun yang terjadi pada istrinya.

Kalian harus tahu, bahwa jangan sampai luka hatinya menjadi racun yang perlahan menggerogoti tubuhnya hingga satu waktu kalian akan faham bahwa tubuhnya tak lagi bisa menahannya. Dia jatuh sakit dalam diamnya.

Bahagia seorang istri terkadang sederhana sekali. Melihat suaminya yang tetap mampu bersabar dalam menghadapi sikap istri dengan tetap menyapa dan tidak mendiamkannya beberapa lama saat istri berbuat salah. Apatah lagi jika tidak membentak dan berkata kasar saat marah.

Kalian tahu, didiamkan berarti dianggap tidak ada. Dan itu sungguh lebih sakit daripada kulit yang teriris pisau silet. Rumah menjadi ibarat kuburan jika saat marah harus mendiamkan berlama-lama.  Dibentak berarti tidak dihargai. Dan tidak semua hati istri mampu menerima perlakuan seperti itu. Tidak semua istri bisa tegar. Meski hanya diam dan tidak melawan, hatinya tetaplah sakit.

Entahlah, bagiku pun sama sulitnya memahami jika seorang suami betah berlama-lama mendiamkan istrinya saat marah. Barangkali sama sulitnya bagi seorang suami yang memahami istrinya yang seringkali sulit dan tidak mampu berterus terang atas perasaannya.

Sebagian istri ada yang mampu mengabaikan rasa sakit hatinya demi tetap utuh dan juga anak-anak yang tak boleh kehilangan hangatnya kasih sayang ibu dan bapak. Tapi sebagian lagi melampiaskannya pada anak-anaknya. Lebih parah lagi jika pelampiannya itu pada hal yang negatif. Sungguh, luka itu akan menjadi racun.

👉 " Alhamdulillah, dalam rasa sakit yang aku rasakan karena perlakuan kasar suamiku meski dalam keadaan tidak marah pun itu tetaplah terselip rasa syukur. Aku mengabarinya lewat pesan singkat jika aku membatalkan janji bertemu dengannya. Aku tak ingin melanjutkan hubungan yang baru saja terasa hangat dalam dinginnya hubungan dengan suamiku. Saat hatiku yang tak sanggup lagi menahan sakit, seorang lelaki yang di mataku lebih berilmu dan biasa menerima keluhan soal rumahtangga itu menjadi seseorang yang membuat hatiku seperti mendapatkan kebahagiaan. Berawal dari curhatku tentang kondisi rumahtangga, kemudian mengalirlah banyak nasehat darinya. Memberiku semangat untuk tetap tegar dan sabar. Dari sebanyak nasehat itu, ada bahagia yang terasa lain.  Komunikasi itu pun hanya aku lakukan lewat pesan singkat. Aku belum pernah bertemu dengannya. Hingga akhirnya kami membuat janji bertemu di satu tempat. Aku menyanggupinya setelah kepulanganku dari sekolah tempatku mengajar. Entah, kesibukanku yang sekian banyak pun belum mampu membuatku mengabaikan luka hati itu. Sampai di detik pertemuan itu, hatiku tetiba berubah. Kesadaran itu datang. Aku tahu ini salah. Tidak seharusnya melampiaskan sakit itu pada satu hal yang akan jauh lebih buruk lagi akibatnya. Aku faham akan dosanya. Alhamdulillah. Saat itulah rasa syukur membuncah. Alloh masih menyayangiku hingga langkah ini belum terlalu jauh, baru di awal saja. Aku mengetik pesan membatalkan janji. Lelaki itu ternyata membalasnya dengan marah dan cukup kasar, kecewa dengan pembatalan yang begitu mendadak. Ah, biarlah. Pada akhirnya sesuatu yang tadinya aku anggap baik dan bisa membantuku menyelesaikan masalah rumahtangga itu ternyata pun sama saja. Dan Alloh menunjukkan bahwa lelaki itu pun tak mampu meredam emosinya. Alhamdulillah, Alloh menyelamatkanku. Aku pulang sambil terus berusaha mengatur hati agar permasalahan rumahtanggaku menjadi ladang amal. Sabar itu lebih baik. Aku akan berusaha menganggap kekasaran suamiku selama pernikahan yang puluhan tahun itu saat bicara biasa dan marahnya itu satu ujian yang Alloh berikan dan aku akan mampu melewatinya. Aku akan sabar jika keinginan hati yang sangat sederhana saja tidak mau dia lakukan. Aku sering menangis sendiri saat melihat suami membonceng istrinya. Mereka terlihat begitu bajagia. Aku? Suamiku tidak pernah mau memboncengku. Maka saat satu hari suamiku tergerak mau memboncengku, maa syaa Alloh, rasanya begitu bahagia. Padahal, kendaraan itu ada. Makanya selama ini aku lebih memilih angkutan umum karena suamiku tak pernah mau mengantarkan.  Dan aku yakin, Alloh lebih tahu kenapa lelaki itu menjadi jodohku di dunia."

Aku menarik nafas panjang. Kisahnya pun membuatku memahami banyak hal. Tentang sabar dan menahan diri agar tak jatuh pada dosa yang lebih besar. Ikatan pernikahan tetaplah wajib dihormati, tak boleh dilepas atau diputus karena satu maksiat yang awalnya hanya pelampian saja. Justru seharusnya membuat kita menyadari bahwa setiap rumahtangga sudah pasti ada masalahnya sendiri. Alloh tahu kepada siapa masalah itu datang. Itu artinya, kita akan mampu menghadapi dan melewatinya. Hanya butuh ilmu sabar saja.

Aku hanya ingin bilang pada para suami, jika marah itu ada, bicaralah, jangan hanya diam berlama-lama. Atau jangan pula memberikan bentakan yang melukai hati. Karena bahagianya sebuah rumah, adalah jika istri bahagia di dalamnya.

Eka Rosaria

Selasa, 15 Januari 2019

Ga perlu dibanggakan

Pekan kemarin saya ke Bandung. Mau jemput Sarah. Di perjalanan yang biasanya bablas langsung Cibitung Karawang tanpa tol dan baru masuk tol setelah Karawang timur, entah kenapa suami malah tanya. Kira-kira gimana kalau lewat tol dari Cibitung ke Cikarang Utama seperti biasanya dahulu. Lalu saya disuruh lihat gugel maps supaya tahu ada tanda merah macet atau tidak.

Saat lihat gps itu sudah terlihat sekali merah yang sangat panjang, panjaaaanggg. Waktu mau bilang kalau lewat Cikarang Utama itu merahnya panjaaaaannggg, ternyata lampu lalu lintas keburu nyala hijau sementara posisi mobil ada di sebelah kanan dan langsung belok ke arah tol Cibitung. Terlanjur sudah. Akhirnya bertemu juga dengan kemacetan jalan tol. Rutin. Harian. Padahal jika ambil jalan biasa dan masuk tolnya nanti di Karawang, maka perjalanan bisa membuat hati lega, ga ngresulo. Ga keno macett.

Sabar saat macet rasa-rasanya memang bukan hanya solusi tunggal. Sabar sih sabar. Tapi kalau setiap lewat daerah itu kemudian harus tertahan sampai 3 jam, padahal hanya Cibitung ke Cikarang Utama, belum kalau bablas sampai Karawang. Bisa dibayangkan orang-orang yang setiap harinya lewat ke situ mau kerja. Alangkah capeknya. Capek hate euyyy.

Saya pun akhirnya tertahan, hampir 3 jam. Mantappp. Padahal Bekasi ke Bandung itu ga lama, seharusnya.

Suami resah. Saya merasa bersalah karena tidak gerak cepat saat melihat gps dengan tanda merah yang panjang. Akhirnya cuma diam. Menerima dengan pasrah. Kesel juga percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Tapi tetep ga enak kalau ga pake ayam suwiran sama cakwe plus krupuk dan sambelnya. Terima nasib.

Lantas saya jadi mikir.

Itu orang-orang yang bangga dengan pembangunan jalan tol, apakah mereka juga merasakan tiap hari lewat situ yang macetnya bisa bikin emak-emak masih sempat dandan mek ap an?

Ah, andai saja mereka memang tiap hari tahu dan memang lewat situ kemudian jadi penyabar, Alhamdulillah. Selamat. Anda orang kuat.

Pembangunan jalan tol yang masih belum selesai dan akhirnya ada penyempitan jalan, ditambah antrian masuk gerbang tol, menyebabkan kemacetan itu sangat menyiksa saya, ini bagi saya. Padahal lewat situ pun hanya sesekali saja. Saya pikir, bagaimana orang-orang yang pagi sore lewat situ?

Belum lagi tarif tol yang diam-diam naek. Kondisi jalan pun ga semulus prosotan, ada lobang sana sini, tambalan sana sini. Bayangkan, sodara! 
Kalau dipikir, ruginya banyak. Waktu, tenaga, materi, plus ngresulo. Sakiitt. Pegel euyy.

Saya jadi ngalamun...
Jalan tol itu tadinya tanah rakyat, dipaksa dijual, buat jalan umum, tapi kudu bayar. Kemana eta duit pajak jalan. Ah, saya jadi keingetan baca berita soal Sultan Jogja yang menolak jalan tol karena sesungguhnya hanya akan membebani rakyat. Wong itu jalan punya rakyat, terus dibangun kok trus suruh mbayar, capek.

Nah, coba deh itu yang bangga dengan jalan tol sampai beritanya ga habis 7 hari 7 malam, bahkan tahunan. Emangnya bisa bangga kalau tiap hari ngalami macet di jalan tol, jalannya ga mulus-mulus amat, suruh bayar mahal, bisa sabar tiap saat begitu?

Saya sih ga yakin kalau yang ngebanggain jalan tol itu memang tiap hari lewat jalan tol. Karena bagi yang mengalami mah, boro-boro kudu bangga kalau sudah kena macet harian, yang ada juga dia pasrah, diam saja, terima nasib. Kalau pas lengang, Alhamdulillah. Pas macet, ya pasrah.

Jadi, ga perlulah itu orang-orang bangga dengan jalan tol. Biasa saja. Toh kita yang lewat juga bayar kok. Yang mau dibanggain apanya? Cepatnya? Memang harus cepat kok, namanya juga jalan tanpa hambatan. Aslinya gitu. Kalau lancar! Kalau macet atau ada kecelakaan ? Lain lagi ceritanya.

Jadi, ga usah pada bangga, ya... Biasa ajah!!