Sabtu, 30 November 2019
Status medsosmu atau kiprahmu?
Suami pengecutPengecut
Rabu, 14 Agustus 2019
Jangan sakiti istri
Catatan hati seorang istri
"Nak, kalau suatu saat nanti kamu menemukam ibu sudah tidak bernyawa lagi, kamu sudah tahu pelakunya siapa".
Pesan seorang ibu kepada anak lelakinya. Saat dirinya sudah ada di ujung rasa. Tidak kuat lagi. Puluhan tahun bukan waktu yang singkat bagi rumah tangga yang dijalaninya. Selama itu pula batinnya tertekan. Suaminya bukan saja pemalas, suka minum, tapi juga suka main tangan. Ringan sekali. Puluhan tahun itu pula hidupnya hanya bergantung pada pemberian keluarga suaminya. Bukan usaha sendiri. Karena memang mereka kaya raya. Hingga akhirnya, si ibu memilih mengakhiri saja rumah tangganya. Daripada harus mati konyol di tangan suaminya. Dia kembali ke kampung halamannya. Hidup seadanya. Bahkan kekurangan. Tapi paling tidak, batin dan raganya bebas. Tidak lagi jadi samsak katena menjadi pelampiasan emosi suaminya.
Kabar perceraiannya membuat saya bahagia. Alhamdulillah. Biarlah berpisah. Daripada harus terus disiksa. Lahir dan batinnya.
Mengingat kisahnya, saya teringat dengan seorang tetangga dekat. Belasan tahun lalu. Sebut saja Rani. Seorang istri dengan sifatnya yang pendiam.
Saya kadang merasa heran dengannya. Kenapa bisa menikah dengan lelaki itu? Suaminya. Seorang lelaki dengan paras tidak jelek, tapi juga tidak terlalu tampan. Penghasilannya biasa saja. Tidak berlebih. Seorang guru les biasa.
Selama rumahtangga, Rani dan suaminya berjauhan. Pulang hanya beberapa kali dalam seminggu, atau sebulan. Saat itu anaknya baru satu. Lelaki. Masih terhitung balita.
Cerita awal pernikahannya ternyata hanya satu saja alasannya. Menurut suaminya, Rani adalah wanita yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya yang sudah meninggal. Itu saja. Hanya itu.
Saya?
Sungguh heran.
Pertemuan mereka pun tidak disengaja. Pada aslinya. Dipertemukan Alloh dalam satu perjalanan yang sama. Lalu terlibat obrolan. Tidak lama dari itu lantas menikah.
Sudah saya tulis. Rani itu sifatnya pendiam. Di mata saya. Entah, pendiam karena masalah, atau memang aslinya begitu. Tapi makin lama makin diam. Bahkan saat ngobrol dengan saya, selalu saja ada air mata yang tidak dapat dia tahan. Meskipun selalu dia akhiri dengan senyuman.
Akhirnya saya tahu. Dia sakit. Hati dan raganya. Bahkan dia jujur, kalau dia sering tidak bisa mendengar. Alias budeg, kata dia. Sambil tersenyum getir. Sungguh sangat dipaksakan. Kepala belakangnya sering terasa sakit luar biasa. Bekas pukulan tangan suaminya.
Rani istri yang bermasalah?
Tidak. Saya bersaksi bahwa dia istri yang baik. Hanya saja sejak telinganya tidak mendengar dengan jelas, lalu perintah atau permintaan suaminya sering dia acuhkan. Bukan tidak taat, tapi tidak terdengar. Setelah itu, suaminya akan marah besar. Meski awalnya hanya masalah kecil. Sangat emosional sekali. Itulah sifat suaminya. Salah sedikit, maka mulutnya akan bicara kasar, dan tangannya akan melayang. Memukul Rani.
Saya?
Tak bisa berbuat banyak untuk menolongnya. Karena Rani selalu saja menghindar ketika dia "sedang" disiksa suaminya. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Lalu berusaha sabar dan menerimanya. Baginya, suaminya adalah tempat baktinya. Meskipun wajahnya tak bisa berbohong saat bertemu, karena bekas siksaan itu ada di sana. Kasihan.
Sampai satu hari, Rani dan suaminya pindah ke Jakarta. Rumahnya dijual. Karena usaha suaminya mengalami kemunduran. Ekonominya jatuh. Sampai akhirnya kabar terakhir saya terima. Rani menyerah. Memilih bercerai. Setelah anaknya yang dulu masih balita itu meninggal.
Saya bahagia mendengarnya. Biarlah dia lepas dari suaminya yang bagi saya tak lebih dari seorang predator. Karena bicaranya yang kasar dan tangannya yang selalu melayang. Suami yang kasar dan suka main tangan itu membahayakan. Tidak pantas disabari terlalu lama.
Maka, saat seorang teman mengadukan kisah tetangganya yang lebih memilih berpisah sementara dengan suaminya karena takut kena pukul lagi, saya sungguh memakluminya. Dia menceritakannya sambil menangis di pelukan teman saya. Mengeluhkan kepalanya yang masih terasa sakit sisa pukulan. Padahal sudah berlalu lebih dari dua bulan. Mengerikan.
Bagi saya, suami adalah seseorang yang jelas sekali punya kekurangan. Entah dari sisi yang mana. Tapi kalau sudah memukul istri dan itu jadi kebiasaan atau tabiat, maka menghindarinya akan jauh lebih baik.
Islam itu adil dan mudah. Menikah dan bercerai sudah diatur. Menikah adalah berkah. Tapi bercerai bukan berarti musibah.
Dan saya terkadang salut pada banyak istri yang masih sanggup bertahan dengan tabiat suami yang suka memukul dan juga kasar. Semoga Alloh ringankan bebannya. Alloh perbaiki rumah tangganya. Tentu saja dengan tambahan syarat. Perbaiki terus hubungan dengan Alloh, semoga Alloh pun memperbaiki hidup kita, rumahtangga kita.
Jangan lupakan satu hal, sebutkan nama suami dalam doa-doa kita. Mintakan kepada Alloh agar dilembutkan hatinya. Dijadikan hatinya penuh dengan kasih sayang kepada keluarga, hususnya kepada istri. Jikapun Alloh belum mengabulkannya, Islam memberikan pilihan. Bertahan, atau berpisah.
Eka Rosaria
Rabu, 30 Januari 2019
Luka hati
Luka hati seorang istri memang terasa sulit diobati. Butuh waktu panjang hingga akhirnya luka itu akan menutup perlahan seiring limpahan cinta Alloh lewat suaminya. Lewat pengertian suaminya yang dengan tanpa gengsi akan meminta maaf jika memang bersalah. Lewat kehangatan sikap suaminya dalam tutur lembut katanya dan senyumnya yang menunjukkan cinta dan penerimaan atas apa pun yang terjadi pada istrinya.
Kalian harus tahu, bahwa jangan sampai luka hatinya menjadi racun yang perlahan menggerogoti tubuhnya hingga satu waktu kalian akan faham bahwa tubuhnya tak lagi bisa menahannya. Dia jatuh sakit dalam diamnya.
Bahagia seorang istri terkadang sederhana sekali. Melihat suaminya yang tetap mampu bersabar dalam menghadapi sikap istri dengan tetap menyapa dan tidak mendiamkannya beberapa lama saat istri berbuat salah. Apatah lagi jika tidak membentak dan berkata kasar saat marah.
Kalian tahu, didiamkan berarti dianggap tidak ada. Dan itu sungguh lebih sakit daripada kulit yang teriris pisau silet. Rumah menjadi ibarat kuburan jika saat marah harus mendiamkan berlama-lama. Dibentak berarti tidak dihargai. Dan tidak semua hati istri mampu menerima perlakuan seperti itu. Tidak semua istri bisa tegar. Meski hanya diam dan tidak melawan, hatinya tetaplah sakit.
Entahlah, bagiku pun sama sulitnya memahami jika seorang suami betah berlama-lama mendiamkan istrinya saat marah. Barangkali sama sulitnya bagi seorang suami yang memahami istrinya yang seringkali sulit dan tidak mampu berterus terang atas perasaannya.
Sebagian istri ada yang mampu mengabaikan rasa sakit hatinya demi tetap utuh dan juga anak-anak yang tak boleh kehilangan hangatnya kasih sayang ibu dan bapak. Tapi sebagian lagi melampiaskannya pada anak-anaknya. Lebih parah lagi jika pelampiannya itu pada hal yang negatif. Sungguh, luka itu akan menjadi racun.
👉 " Alhamdulillah, dalam rasa sakit yang aku rasakan karena perlakuan kasar suamiku meski dalam keadaan tidak marah pun itu tetaplah terselip rasa syukur. Aku mengabarinya lewat pesan singkat jika aku membatalkan janji bertemu dengannya. Aku tak ingin melanjutkan hubungan yang baru saja terasa hangat dalam dinginnya hubungan dengan suamiku. Saat hatiku yang tak sanggup lagi menahan sakit, seorang lelaki yang di mataku lebih berilmu dan biasa menerima keluhan soal rumahtangga itu menjadi seseorang yang membuat hatiku seperti mendapatkan kebahagiaan. Berawal dari curhatku tentang kondisi rumahtangga, kemudian mengalirlah banyak nasehat darinya. Memberiku semangat untuk tetap tegar dan sabar. Dari sebanyak nasehat itu, ada bahagia yang terasa lain. Komunikasi itu pun hanya aku lakukan lewat pesan singkat. Aku belum pernah bertemu dengannya. Hingga akhirnya kami membuat janji bertemu di satu tempat. Aku menyanggupinya setelah kepulanganku dari sekolah tempatku mengajar. Entah, kesibukanku yang sekian banyak pun belum mampu membuatku mengabaikan luka hati itu. Sampai di detik pertemuan itu, hatiku tetiba berubah. Kesadaran itu datang. Aku tahu ini salah. Tidak seharusnya melampiaskan sakit itu pada satu hal yang akan jauh lebih buruk lagi akibatnya. Aku faham akan dosanya. Alhamdulillah. Saat itulah rasa syukur membuncah. Alloh masih menyayangiku hingga langkah ini belum terlalu jauh, baru di awal saja. Aku mengetik pesan membatalkan janji. Lelaki itu ternyata membalasnya dengan marah dan cukup kasar, kecewa dengan pembatalan yang begitu mendadak. Ah, biarlah. Pada akhirnya sesuatu yang tadinya aku anggap baik dan bisa membantuku menyelesaikan masalah rumahtangga itu ternyata pun sama saja. Dan Alloh menunjukkan bahwa lelaki itu pun tak mampu meredam emosinya. Alhamdulillah, Alloh menyelamatkanku. Aku pulang sambil terus berusaha mengatur hati agar permasalahan rumahtanggaku menjadi ladang amal. Sabar itu lebih baik. Aku akan berusaha menganggap kekasaran suamiku selama pernikahan yang puluhan tahun itu saat bicara biasa dan marahnya itu satu ujian yang Alloh berikan dan aku akan mampu melewatinya. Aku akan sabar jika keinginan hati yang sangat sederhana saja tidak mau dia lakukan. Aku sering menangis sendiri saat melihat suami membonceng istrinya. Mereka terlihat begitu bajagia. Aku? Suamiku tidak pernah mau memboncengku. Maka saat satu hari suamiku tergerak mau memboncengku, maa syaa Alloh, rasanya begitu bahagia. Padahal, kendaraan itu ada. Makanya selama ini aku lebih memilih angkutan umum karena suamiku tak pernah mau mengantarkan. Dan aku yakin, Alloh lebih tahu kenapa lelaki itu menjadi jodohku di dunia."
Aku menarik nafas panjang. Kisahnya pun membuatku memahami banyak hal. Tentang sabar dan menahan diri agar tak jatuh pada dosa yang lebih besar. Ikatan pernikahan tetaplah wajib dihormati, tak boleh dilepas atau diputus karena satu maksiat yang awalnya hanya pelampian saja. Justru seharusnya membuat kita menyadari bahwa setiap rumahtangga sudah pasti ada masalahnya sendiri. Alloh tahu kepada siapa masalah itu datang. Itu artinya, kita akan mampu menghadapi dan melewatinya. Hanya butuh ilmu sabar saja.
Aku hanya ingin bilang pada para suami, jika marah itu ada, bicaralah, jangan hanya diam berlama-lama. Atau jangan pula memberikan bentakan yang melukai hati. Karena bahagianya sebuah rumah, adalah jika istri bahagia di dalamnya.
Eka Rosaria
Selasa, 15 Januari 2019
Ga perlu dibanggakan
Pekan kemarin saya ke Bandung. Mau jemput Sarah. Di perjalanan yang biasanya bablas langsung Cibitung Karawang tanpa tol dan baru masuk tol setelah Karawang timur, entah kenapa suami malah tanya. Kira-kira gimana kalau lewat tol dari Cibitung ke Cikarang Utama seperti biasanya dahulu. Lalu saya disuruh lihat gugel maps supaya tahu ada tanda merah macet atau tidak.
Saat lihat gps itu sudah terlihat sekali merah yang sangat panjang, panjaaaanggg. Waktu mau bilang kalau lewat Cikarang Utama itu merahnya panjaaaaannggg, ternyata lampu lalu lintas keburu nyala hijau sementara posisi mobil ada di sebelah kanan dan langsung belok ke arah tol Cibitung. Terlanjur sudah. Akhirnya bertemu juga dengan kemacetan jalan tol. Rutin. Harian. Padahal jika ambil jalan biasa dan masuk tolnya nanti di Karawang, maka perjalanan bisa membuat hati lega, ga ngresulo. Ga keno macett.
Sabar saat macet rasa-rasanya memang bukan hanya solusi tunggal. Sabar sih sabar. Tapi kalau setiap lewat daerah itu kemudian harus tertahan sampai 3 jam, padahal hanya Cibitung ke Cikarang Utama, belum kalau bablas sampai Karawang. Bisa dibayangkan orang-orang yang setiap harinya lewat ke situ mau kerja. Alangkah capeknya. Capek hate euyyy.
Saya pun akhirnya tertahan, hampir 3 jam. Mantappp. Padahal Bekasi ke Bandung itu ga lama, seharusnya.
Suami resah. Saya merasa bersalah karena tidak gerak cepat saat melihat gps dengan tanda merah yang panjang. Akhirnya cuma diam. Menerima dengan pasrah. Kesel juga percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Tapi tetep ga enak kalau ga pake ayam suwiran sama cakwe plus krupuk dan sambelnya. Terima nasib.
Lantas saya jadi mikir.
Itu orang-orang yang bangga dengan pembangunan jalan tol, apakah mereka juga merasakan tiap hari lewat situ yang macetnya bisa bikin emak-emak masih sempat dandan mek ap an?
Ah, andai saja mereka memang tiap hari tahu dan memang lewat situ kemudian jadi penyabar, Alhamdulillah. Selamat. Anda orang kuat.
Pembangunan jalan tol yang masih belum selesai dan akhirnya ada penyempitan jalan, ditambah antrian masuk gerbang tol, menyebabkan kemacetan itu sangat menyiksa saya, ini bagi saya. Padahal lewat situ pun hanya sesekali saja. Saya pikir, bagaimana orang-orang yang pagi sore lewat situ?
Belum lagi tarif tol yang diam-diam naek. Kondisi jalan pun ga semulus prosotan, ada lobang sana sini, tambalan sana sini. Bayangkan, sodara!
Kalau dipikir, ruginya banyak. Waktu, tenaga, materi, plus ngresulo. Sakiitt. Pegel euyy.
Saya jadi ngalamun...
Jalan tol itu tadinya tanah rakyat, dipaksa dijual, buat jalan umum, tapi kudu bayar. Kemana eta duit pajak jalan. Ah, saya jadi keingetan baca berita soal Sultan Jogja yang menolak jalan tol karena sesungguhnya hanya akan membebani rakyat. Wong itu jalan punya rakyat, terus dibangun kok trus suruh mbayar, capek.
Nah, coba deh itu yang bangga dengan jalan tol sampai beritanya ga habis 7 hari 7 malam, bahkan tahunan. Emangnya bisa bangga kalau tiap hari ngalami macet di jalan tol, jalannya ga mulus-mulus amat, suruh bayar mahal, bisa sabar tiap saat begitu?
Saya sih ga yakin kalau yang ngebanggain jalan tol itu memang tiap hari lewat jalan tol. Karena bagi yang mengalami mah, boro-boro kudu bangga kalau sudah kena macet harian, yang ada juga dia pasrah, diam saja, terima nasib. Kalau pas lengang, Alhamdulillah. Pas macet, ya pasrah.
Jadi, ga perlulah itu orang-orang bangga dengan jalan tol. Biasa saja. Toh kita yang lewat juga bayar kok. Yang mau dibanggain apanya? Cepatnya? Memang harus cepat kok, namanya juga jalan tanpa hambatan. Aslinya gitu. Kalau lancar! Kalau macet atau ada kecelakaan ? Lain lagi ceritanya.
Jadi, ga usah pada bangga, ya... Biasa ajah!!