Sabtu, 30 November 2019

Suami pengecutPengecut

Suami pengecut

Pada akhirnya, saya hanya bisa mendoakan ketika ada seorang suami yang menikah lagi. Punya istri ke dua. Bagaimanapun, bisa jadi ada hal yang membuatnya mengambil keputusan itu. Asal siap dengan segala konsekuensinya, saya kira itu adalah hak pribadi. Meski tetap saya nasehatkan, dipikir ulang, ditimbang baik-baik, agar poligaminya menjadi solusi. Bukan sekedar nambah istri. 

Hingga akhirnya istri ke dua menangis. Baru sebulan menikah lalu dicerai. Alasannya sudah bisa ditebak. Ketahuan istri pertama. Si suami tiba-tiba jadi penakut. Menyerah pada amarah yang ternyata sulit baginya untuk tetap di posisi tenang dan adil. 

Kehidupan selanjutnya adalah kesedihan bagi yang ke dua. Luapan amarah tak bisa dicegah dari yang pertama. Sementara si suami tak berdaya. Menyerah tidak bisa berbuat apa-apa. Menjadi pengecut. Lalu hilang seolah tidak punya tanggungjawab. 

Saya tak pernah masalah dengan pelaku poligami. Kecuali pelakunya saya kenal dan ternyata bermasalah. Maka, biasanya nurani membela itu keluar dengan sendirinya. 

Saya pernah menyuruh istri pertama agar menyusul suaminya yang sedang ada di rumah istri ke dua. Emosi saya ikut tinggi. Tak peduli itu rumahtangga orang lain. Bagaimana saya akhirnya ikut campur dalam rumahtangganya? 

Saya mengunjunginya di satu waktu. Mendapati ke tiga anaknya yang masih kecil-kecil itu sakit demam. Dia sendirian. Suaminya tidak ada. Ditelpon berkali-kali tidak diangkat. Berlangsung beberapa hari. Dia sendirian mengurus anaknya. Saat itu, anak pertama pun masih kecil. Belum sekolah. Bisa dibayangkan repotnya. Lalu ibunya pun akhirnya ikut sakit. Lelah. 

Saya tak tega. Lalu saya tanya di mana suaminya. Dia bilang kalau sedang di rumah yang ke dua. Tapi dia sendiri kebingungan mengurusi tiga anaknya yang berbarengan sakit. Jelas sekali. Butuh suami disampingnya. Butuh sekali dukungan suami. Manusia normal pasti faham. Entah. Inilah saking emosinya saya. 

Saya suruh dia naek ojeg menyusul suaminya. Urusan ribut biarlah urusan belakangan. Yang penting dia bertemu dulu dengan suaminya dan tahu kabar anak-anaknya. Betul saja. Suaminya ada di sana. Sedang asik dengan istri ke duanya. 

Apakah dilarang? 
Tentu tidak! 

Tapi siapapun faham. Itu suami punya tanggung jawab terhadap istri yang lain dan juga anak-anaknya. Suami harus bisa adil membagi waktu dan perhatian. Kalau terlalu asik dengan yang lain lalu abai dengan lainnya, itu sudah dzolim. 

Sebagai perempuan, istri, saya hanya ingin sedikit berpesan. Jika kalian para suami satu saat ingin poligami, pastikan posisi istri sudah siap jika ada hal-hal yang terjadi sementara suaminya tidak sedang bersamanya. Apalagi kalau anak-anaknya masih sangat kecil-kecil. Saya masih ingat, anak ke tiganya saat itu masih belum dua tahun. Bisa dibayangkan? 

Janganlah jadi suami pengecut. Yang hanya BERANI poligami. Tapi TAKUT dengan konsekuensi. 

Saya salut dengan para suami yang akhirnya poligami, tapi mampu mengambil waktu sekian tahun untuk mendidik istrinya agar pada saatnya siap apa-apa dilakukan sendirian tanpa selalu harus ada suami karena waktunya yang jelas terbagi. 

Semoga ga ada emak-emak yang selalu menuduh wanita yang sudah ngaji wajib mau dipoligami. Bagi saya. Poligami urusan masing-masing. Hanya saja ketika muncul menjadi 'kasus', kita orang terdekat biasanya ikut terbawa perasaan. 

Semoga yang sudah menjalani poligami, diberkahi Alloh sehingga menjadi contoh baik bagi lainnya. 

Bagi suami yang BERANI poligami tapi ternyata pada akhirnya menjadi PENGECUT, banyak-banyaklah istighfar. Muhasabahlah, barangkali ada hak Alloh yang diabaikan, sehingga poligamimu juga berantakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar