Sabtu, 30 November 2019

Status medsosmu atau kiprahmu?

STATUS MEDSOSMU, ATAU KIPRAHMU? 

Belajar menilai adil pada orang lain itu wajib hukumnya. Agar tidak jatuh pada bermudah-mudahan meremehkan dan buruk sangka. Sungguh saya pun banyak belajar dari dunia baru ini, era media sosial. Di mana kita tidak pernah tahu persis antara kenyataan atau bukan soal kehidupan orang lain. 

Saya pun belajar berdamai dengan status orang lain yang bukan standar kita, tidak kita sukai, atau status yang terlihat santai seolah tidak pernah peduli soal agamanya. Karena tujuan setiap orang aktif di media sosial ini pun pastinya berbeda antara kita dengan yang lain. Ada yang sekedar untuk hiburan di tengah banyaknya pekerjaan rumah, atau sekedar sesempatnya saja. Atau serius untuk berdakwah, menyebarkan ilmu. Semuanya bisa difahami. Asal tidak keluar dari prinsip, tetap dalam koridor.

Di medsos ini, teman saya begitu banyak. Baik ikhwan atau pun akhwat. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena dari banyak para Ustadz, teman angkatan, saya bisa mengambil banyak ilmu dari mereka. Asal tetap berlaku sopan saat komentar, bagi saya tidak masalah. 

Banyak teman yang aktif di medsos, sudah otomatis banyak status yang lewat di beranda kita. Macam-macam isinya. Dari yang santai sampai yang serius. Dari masalah hiburan sampai pelajaran penting dalam bab agama. Dari yang cuma suka posting makanan sampai jalan-jalan. Lengkap semuanya. Ibarat makanan prasmanan. Kita bisa memilih mana yang mau kita baca atau kita lewati saja. Tidak perlu dibuat pusing. Apalagi seleranya harus sama dengan kita. Tidak mungkin. Kurang kerjaan. Jangan merepotkan diri sendiri hanya karena status medsos. Selama isinya bukan ngajak maksiat, saya damai-damai saja. 

Status medsos tidak selamanya mencerminkan kehidupan asli seseorang. Bahkan soal nama. Ada yang memakai nama asli, ada yang samaran. Dari situ saja harusnya kita bisa menilai bahwa medsos ini bukan patokan kita menilai orang lain. Ada yang statusnya santai, becanda, hiburan, tapi ternyata dia adalah seorang yang punya kiprah penting dalam dunia dakwah yang merupakan kewajiban kita, sekecil apa pun peran itu. 

Tapi ada juga yang statusnya fokus masalah taushiah, artikel Islami, tapi akhirnya setelah ada yang curhat valid, ternyata dia seorang laki-laki yang hobinya merayu perempuan di inbox. Begitulah dunia medsos. Tidak bisa kita pukul rata dalam menilai. 

👀 Ada seorang teman di medsos yang statusnya sering remeh, curhatan, hiburan. Ternyata beliau seorang pengelola pesantren dengan banyak prestasi dalam dunia dakwahnya. Mengajak dan membina ummat. 

👀 Ada teman yang statusnya sering soal sedang jalan ke sana ke sini, sedang acara ini dan itu yang kelihatannya tidak ada kaitannya dengan dakwah. Tapi ternyata, beliau dengan suaminya adalah pemilik pesantren it yang menggratiskan muridnya. Membina mereka agar ke depannya mengamalkannya untuk dakwah. 

👀 Ada seorang teman yang statusnya hanya jualan saja. Dia fokus bermedsos untuk dagang. Tapi saya tahu, dia seorang guru yang mengajari para ibu belajar alqur'an. Punya tempat husus untuk dakwah pada masyarakat sekitarnya. Sukses punya anak banyak dan hampir semua hafal qur'an. 

👀 Ada teman di medsos yang statusnya biasa saja. Bisa jadi tidak ada hubungannya dengan dakwah. Tapi ternyata kiprahnya dalam masyarakat begitu besar. Menjadi guru belajar Alqur'an, bahkan berinfaq sampai ratusan juta untuk sodaranya di belahan bumi Syam. 

Sungguh, masih terlalu banyak contoh teman lainnya yang menggunakan medsos untuk hal sekedarnya, tapi punya kiprah luar biasa dalam dunia dakwah. Dakwah yang memang kewajiban bagi kita, sekecil apa pun peran kita. 

Maka, tidak perlu merepotkan diri mengatur orang lain supaya bikin status seperti kita. Repot sendiri karena status poligami yang sering saya tulis.

Kenapa begitu seringnya saya menulis kisah poligami? Karena memang lingkungan saya, teman-teman dekat saya, mereka pelaku poligami. Ada banyak pelajaran yang bisa saya tuliskan. Bukan membuka aib. Tapi kisah supaya jadi pelajaran. Dengan catatan bahwa saya tidak pernah menuliskan nama dan tempat. 

Semoga saya tidak repot memaksa orang lain agar status medsosnya sama seperti saya. Saya ingin damai dan merdeka. Karena kiprah kita di dunia nyata itu jauh lebih penting. 

KITA WAJIB TAHU BAHWA TERNYATA KEBAIKAN DAN AMAL SHOLEH ORANG LAIN TERNYATA JAUH LEBIH BANYAK DARI KITA SENDIRI. Cukup itu saja prinsip kita. 

Sekian

Suami pengecutPengecut

Suami pengecut

Pada akhirnya, saya hanya bisa mendoakan ketika ada seorang suami yang menikah lagi. Punya istri ke dua. Bagaimanapun, bisa jadi ada hal yang membuatnya mengambil keputusan itu. Asal siap dengan segala konsekuensinya, saya kira itu adalah hak pribadi. Meski tetap saya nasehatkan, dipikir ulang, ditimbang baik-baik, agar poligaminya menjadi solusi. Bukan sekedar nambah istri. 

Hingga akhirnya istri ke dua menangis. Baru sebulan menikah lalu dicerai. Alasannya sudah bisa ditebak. Ketahuan istri pertama. Si suami tiba-tiba jadi penakut. Menyerah pada amarah yang ternyata sulit baginya untuk tetap di posisi tenang dan adil. 

Kehidupan selanjutnya adalah kesedihan bagi yang ke dua. Luapan amarah tak bisa dicegah dari yang pertama. Sementara si suami tak berdaya. Menyerah tidak bisa berbuat apa-apa. Menjadi pengecut. Lalu hilang seolah tidak punya tanggungjawab. 

Saya tak pernah masalah dengan pelaku poligami. Kecuali pelakunya saya kenal dan ternyata bermasalah. Maka, biasanya nurani membela itu keluar dengan sendirinya. 

Saya pernah menyuruh istri pertama agar menyusul suaminya yang sedang ada di rumah istri ke dua. Emosi saya ikut tinggi. Tak peduli itu rumahtangga orang lain. Bagaimana saya akhirnya ikut campur dalam rumahtangganya? 

Saya mengunjunginya di satu waktu. Mendapati ke tiga anaknya yang masih kecil-kecil itu sakit demam. Dia sendirian. Suaminya tidak ada. Ditelpon berkali-kali tidak diangkat. Berlangsung beberapa hari. Dia sendirian mengurus anaknya. Saat itu, anak pertama pun masih kecil. Belum sekolah. Bisa dibayangkan repotnya. Lalu ibunya pun akhirnya ikut sakit. Lelah. 

Saya tak tega. Lalu saya tanya di mana suaminya. Dia bilang kalau sedang di rumah yang ke dua. Tapi dia sendiri kebingungan mengurusi tiga anaknya yang berbarengan sakit. Jelas sekali. Butuh suami disampingnya. Butuh sekali dukungan suami. Manusia normal pasti faham. Entah. Inilah saking emosinya saya. 

Saya suruh dia naek ojeg menyusul suaminya. Urusan ribut biarlah urusan belakangan. Yang penting dia bertemu dulu dengan suaminya dan tahu kabar anak-anaknya. Betul saja. Suaminya ada di sana. Sedang asik dengan istri ke duanya. 

Apakah dilarang? 
Tentu tidak! 

Tapi siapapun faham. Itu suami punya tanggung jawab terhadap istri yang lain dan juga anak-anaknya. Suami harus bisa adil membagi waktu dan perhatian. Kalau terlalu asik dengan yang lain lalu abai dengan lainnya, itu sudah dzolim. 

Sebagai perempuan, istri, saya hanya ingin sedikit berpesan. Jika kalian para suami satu saat ingin poligami, pastikan posisi istri sudah siap jika ada hal-hal yang terjadi sementara suaminya tidak sedang bersamanya. Apalagi kalau anak-anaknya masih sangat kecil-kecil. Saya masih ingat, anak ke tiganya saat itu masih belum dua tahun. Bisa dibayangkan? 

Janganlah jadi suami pengecut. Yang hanya BERANI poligami. Tapi TAKUT dengan konsekuensi. 

Saya salut dengan para suami yang akhirnya poligami, tapi mampu mengambil waktu sekian tahun untuk mendidik istrinya agar pada saatnya siap apa-apa dilakukan sendirian tanpa selalu harus ada suami karena waktunya yang jelas terbagi. 

Semoga ga ada emak-emak yang selalu menuduh wanita yang sudah ngaji wajib mau dipoligami. Bagi saya. Poligami urusan masing-masing. Hanya saja ketika muncul menjadi 'kasus', kita orang terdekat biasanya ikut terbawa perasaan. 

Semoga yang sudah menjalani poligami, diberkahi Alloh sehingga menjadi contoh baik bagi lainnya. 

Bagi suami yang BERANI poligami tapi ternyata pada akhirnya menjadi PENGECUT, banyak-banyaklah istighfar. Muhasabahlah, barangkali ada hak Alloh yang diabaikan, sehingga poligamimu juga berantakan.