Jumat, 11 Mei 2018

Etika

Menjaga perasaan

Seorang ibu fulanah terlanjur curhat saat ditanya temannya. Tentang anaknya yang suka buka hape ortunya tanpa izin, kemudian mengubah status medsosnya. Fulanah resah meski bisa jadi itu hal sepele. Karena terkadang bagi yang melihat dan membaca, akan dianggap itu adalah perbuatannya, bukan anaknya.

Kemudian si teman berkomentar. Bahwa dia merasa aneh dengan kelakuan anaknya fulanah. Dan bilang bahwa,

"Alhamdulillah, beda ya sama anak saya. Kalau anak saya sama sekali tidak berani ambil dan buka-buka hape ortunya."

Sekilas biasa saja.

Tapi bisa jadi itu hal yang tidak nyaman buat fulanah. Memandang tidak baik perbuatan anaknya si fulanah, lalu tanpa sadar membanggakan anaknya sendiri.

Itulah yang sering tidak kita sadari.

Saya tahu persis saat ada beberapa teman yang anaknya, Subhaanallooh, perilakunya sungguh diluar batas. Ada yang senang mencuri. Tidak mau sekolah dan akhirnya bergaul dengan orang-orang yang tidak baik. Merokok, juga entah sholat entah tidak. Padahal kedua orangtuanya rajin hadir di majlis ilmu, rajin sholat jamaah di masjid. Mereka, ortunya, adalah orang yang baik di mata saya. Dan saya, juga teman yang lain, berusaha untuk bersikap biasa ketika dihadapannya. Tidak pernah membicarakan soal kelakuan anak kita, apalagi anaknya. Yang pasti akan membuatnya merasa malu.

Bagaimana pun juga, saat di mata orang lain ada stigma bahwa perilaku anak adalah hasil didikan orangtuanya, sementara yang terjadi terkadang tidaklah seperti itu.

Melahirkan anak dengan segala bawaan sifat dan karakternya, tentu bukan keinginan setiap orangtua. Sama halnya dengan seorang anak yang tidak bisa memilih dari ibu mana dia dilahirkan. Semuanya taqdir. Alloh lah yang menentukannya.

Saya percaya, bahwa orangtuanya sudah mendidiknya dengan baik, dengan aturan yang sesuai. Tapi jika ternyata akhirnya tidak seperti yang diharapkan, lantas bisa apa?

Inilah ujian bagi orangtua. Sebagaimana seorang Nuh Alaihissalam dikaruniai anak yang bernama Kan'an yang ternyata masuk dalam golongan ahli neraka. Padahal ayahnya sudah mengajaknya untuk ikut bersamanya.

Maka, sepatutnya juga bukan hal yang harus terus diratapi. Tapi sebagai bahan yang harus disabari. Agar kelak menjadi saksi, bahwa ujian itu membawanya pada pahala tak terperi.

Ada banyak kasus, seorang anak dengan orangtuanya berititel haji. Titel yang setiap orang berpendapat bahwa anaknya seharusnya  punya sifat yang baik. Tapi ternyata di kemudian hari justru jadi murtad karena menikah dengan orang kafir. Banyak orangtua yang akhirnya memutuskan hubungan darah. Tapi tidak sedikit juga yang akhirnya bersikap pasrah.

Maka dari itu, ada baiknya jika kita mampu menjaga perasaan teman kita saat kondisi anaknya berbeda dengan anak kita. Hiburlah dengan kalimat yang baik. Jangan justru dijatuhkan. Agar rasa sabarnya senantiasa dia lakoni dalam hidupnya. Karena ujian setiap orang itu tentulah berbeda.

Semoga kita sebagai orangtua, dimampukan Alloh mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan semampu usaha kita. Serta selalu menyebut namanya dalam doa kita.

Eka Rosaria
Bekasi, maret 2018

Emak yang sama belajar dan tidak bosan mendoakan anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar