Selasa, 27 November 2018

Ikhtiar

IKHTIYAR ITU WAJIB

Bertahun lalu, di pagi itu. Seorang ibu terlihat membonceng anak gadis kecilnya. Tangan mungilnya memegang erat pinggang ibunya. Yang terus menggowes sepedanya.  Berbalut seragam merah putih dengan lengan baju dan roknya yang panjang, juga berjilbab. Terlihat begitu cantik.

Saya akhirnya faham. Ibu bapaknya sebenarnya bukan tak ingin memasukkan anaknya ke sekolah berbasis Islam yang saat itu sedang mulai menggeliat muncul. SDIT. Sekolah Dasar Islam Terpadu. Sekolah dengan biaya yang jauh lebih mahal dari sekolah negeri. Dengan seragam yang lebih banyak dan juga mahal. Dengan waktu yang lebih panjang.

Mereka sangat ingin. Bukan tak ingin. Tapi saat itu terkendala biaya. Tidak ingin memaksakan diri yang akhirnya belum tentu terkejar dengan gaji suami yang seorang karyawan pabrik biasa dan seorang ibu yang berkarir di rumah, ibu rumah tangga. Maka, pilihan akhirnya adalah memasukkannya ke sekolah negeri. Dengan tetap memasukkan anaknya ke sekolah sore. Sekolah husus pelajaran agama. Ngaji.

Pilihan itu tak lantas menuai simpati karena jelas ketidakberdayaannya atas biaya yang baginya sangat besar.  Justru sebagian menjadi sedikit sinis dengan melempar tanya, "kenapa tidak disekolahkan di sdit saja. Kan lebih jelas pendidikan agamanya. Aqidah dan ibadahnya terjaga?"

Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Menurut saya. Karena jika saja si penanya mau sedikit bertanya, maka dia pun akan faham.

Soal uang, tidak akan merasakan sulitnya kekurangan, kecuali yang mengalaminya. Maka, memilih diam dan mendoakan atau bertanya lalu memahami itu jauh lebih bagus. Daripada mencibir saja.

Hari ini. Apa yang diusahakan orangtuanya menuai hasil. Selepas sekolah di SD negeri, anaknya ia masukkan ke pesantren dengan biaya terjangkau, sesuai dengan kondisi keuangannya. Mereka tidak lantas lepas tangan begitu saja dalam mendidik anaknya.  Tetap mengusahakan yang terbaik. Mereka juga semakin rajin belajar agama, tidak hanya anaknya saja. Di sinilah sesungguhnya peran orangtua, sudah seharusnya belajar lebih giat soal agama daripada anaknya. Tidak lain adalah sebagai ikhtiar dalam rangka menginginkan anak yang sholeh agama dan akhlaknya.

Anaknya kini sudah jadi gadis dewasa. Sudah lulus kuliah. Bahkan bertitel Lc.

Saya yakin, kebanggaan sudah pasti menjadi milik orangtuanya.

Anak gadis kecil yang dulu sekolah di negeri itu hari ini menyandang gelar Lc. Lulusan Syariah dari sebuah universitas terkenal.

Maka, kita, orangtua. Jangan pernah lelah dan menyerah mendidik anak. Tidak wajib sekolah di SDIT jika memang uang kita tidak cukup. Yang wajib adalah mendidiknya terus menerus di rumah dengan segudang pelajaran agama. Karena sholeh dan tidak sholeh itu tidak mutlak hasil didikan di sdit atau sd negeri, karena peran kita sebagai orangtua, itu jauh lebih penting.

Hidup memang pilihan. Asalkan tidak menyusahkan dan menjadi beban orang lain, bagi saya itu adalah pilihan. Poinnya adalah, pertama,  pandailah mengukur kemampuan diri saat mengambil keputusan menyekolahkan anak. Ke dua, orangtua wajib mengawal pendidikan anak, tidak lepas tangan begitu saja.

Yang sekolah di SDIT, Alhamdulillah. Yang sekolah di SD negeri, Alhamdulillah.  Tetap semangat mendidik anak-anak dengan ilmu yang bermanfaat, hususnya untuk akhirat.

Eka Rosaria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar