Rabu, 20 Juni 2018

Wanita

#Catatanhatiistri

Jam 1 malam, terbangun. Entah karena apa. Lalu saya nyalakan hape. Ada chat wa masuk.

"Mi, barusan aku dipukul lagi. Rambut ditarik, ditendang. Aku sakit, Mi.."

Ngantuk seketika hilang, ganti dengan kaget. Untuk ke sekian kalinya dia mengeluhkan. Terkadang bosan juga ngasih saran. Bukan tanpa alasan. Ngeri kalau sudah mendengar ceritanya. Bahkan satu giginya harus copot karena disiksa saat meminta "sesuatu" darinya, padahal saat itu bulan di mana siangnya haram melakukannya.

Satu lagi,

"Mi, teman saya curhat mulu soalnya suaminya. Suka nendang, mukul, kasar, tidak mau sholat jamaah ke masjid, sama anak-anak kasar. Sudah saya sarankan cerai saja kalau memang sudah tidak kuat. Tapi katanya nanti saja, mau lihat perubahan dulu. Siapa tahu mau berubah. Padahal semua itu terjadi bertahun-tahun".

Dua wanita dengan masalah hampir sama. Dua-duanya tetap memilih bertahan. Entahlah, saya sendiri terkadang bingung melihatnya.

Wanita itu makhluq mengagumkan sekaligus membingungkan. Begitu yang saya lihat dan rasakan.

Betapa tidak, sekian banyak wanita dengan masalah besar yang menimpanya, tetap teguh mempertahankan sebuah hubungan. Terutama rumah tangga.

Mengagumkan karena memilih tetap bertahan meski punya suami tempramental, main pukul main tendang kalau sedang marah, belum lagi nada bicara yang suka membentak. Rela merasakan kepedihan dan penderitaan itu bertahun-tahun. Kadang tanpa mengeluh. Nrimo.

Membingungkan karena memilih tetap bertahan tidak bercerai meski pun pilihan itu jelas sekali boleh diambil. Di mana letak bahagianya seorang istri jika punya suami yang suka mukul, nendang, bentak jika emosi. Bahkan sedang tidak emosi pun nadanya tetap kasar.

Itulah hebatnya wanita. Dibalik kelemahannya, tersimpan kekuatan besar untuk bertahan dalam situasi yang pelik. Memilih untuk merelakan bahagianya demi anak-anak. Itulah yang seringkali terjadi. Anak-anak adalah hidupnya.

Saat ada istri yang curhat karena suaminya yang suka mukul, nendang, nuduh dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, saya hanya bertanya,

"kuatkah dengan kondisi itu?"

Jawabannya tetap,

"kasian anak-anak"

Meski seringkali saya sarankan untuk memilih bercerai setelah sebelumnya sholat istikhoroh agar pilihannya tepat, tetap memilih bertahan. Ada juga yang begitu khawatir dengan nafkahnya nanti jika memilih bercerai. Ini wajar. 

Alangkah hebatnya wanita..
Para suami, sayangilah wanitamu!
Karena sakitnya dan beratnya saat hamil dan melahirkan anak-anakmu tak akan pernah sebanding dengan sakitnya disunat yang hanya sekali seumur hidup.

Wanita, bahagiakan hidupmu!
Jika khawatir menguasai hati, ingatlah! Ada Alloh tempat meminta dan bersandar. Tapi jika tetap memilih bertahan, semoga tetap bersabar.

Alangkah mulianya teladan kita Muhammad Rosululloh shollalloohu 'alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya. Beliau adalah suami yang paling baik dalam memuliakan mereka, ummahatul mukminin. Dalam marahnya pun, beliau masih tetap bersikap lemah lembut. Lalu, jika para suami tidak mencontoh beliau dalam memperlakukan istri, siapa lagi yang mau dicontoh?

Para istri, mari kita belajar menjadi tempat paling "tenang" bagi suami, sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Setiap rumahtangga pasti ada ujiannya. Bercerai bukan pilihan buruk jika ke depannya akan jauh lebih baik. Adukanlah setiap masalah kepada Alloh. Karena Alloh lah yang memberi kita ujian, kepada NYA lah kita juga bersandar.

Eka Rosaria
Bekasi, juni 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar