Sabtu, 14 November 2015

Andai semua jalan seperti masjid

Satu kali saat di perjalanan ke Sukabumi, tiba-tiba saja terjadi kemacetan. Semua kendaraan mendadak berhenti, tepatnya dipaksa berhenti. Semula saya juga ga tahu kenapa macet, satu jam bukan waktu yang sebentar harus berhenti di jalanan. Kebayang rasanya harus nunggu lama. Tiba-tiba saja ada bunyi sirine dari mobil pengawal. Meraung-raung sangat keras, memaksa semua kendaraan minggir dan mengosongkan jalan untuk mobil itu. Di belakangnya beberapa mobil dengan plat merah dan hitam. Semua mafhum, itu adalah iring-iringan mobil pejabat yang lewat. Jalan disibak, tidak peduli kendaraan lainpun berhak atas jalan itu. Dengan leluasa mereka lewat. Dan kemacetan kembali terurai setelah iring-iringan itu habis.

Tidak banyak yang mau tahu jika pejabat itu punya agenda yang harus buru-buru dikerjakan. Perjalanan dinas yang katanya memerlukan waktu yang cepat hingga akses jalanpun bisa dengan leluasa dibuat berhenti ketika mereka lewat. Bisa dibayangkan perasaan orang lain yang punya hak sama atas jalan itu, harus menunggu sekian jam agar jalan kembali normal dan kendaraan bisa melaju. Dan yang pasti merekapun punya keperluan yang waktunya memerlukan cepat.

Dalam kondisi seperti itu, hak jalan yang seharusnya sama-sama bisa dinikmati tanpa harus mendahulukan pihak lain, ada banyak kekesalan yang terucap dari mulut-mulut mereka yang merasa haknya diambil. Mengeluarkan sumpah serapah, mendo'akan yang tidak baik, dan mengeluarkan semua unek-unek di hatinya karena kesal, meski sebenarnya ga ada gunanya juga. Toh para pejabat itu tidak mendengarnya.

Hal beda jika yang lewat itu mobil jenazah atau pemadam kebakaran. Tanpa disuruhpun, semua pengendara akan minggir dengan sendirinya. Memberikan akses jalan seluas-luasnya tanpa dipaksa atau terpaksa. Mereka benar-benar ikhlas. Maka biasanya, ucapan yang keluar dari mulut- mulut pengendara lainpun akan keluar kata-kata yang baik. Mendoakan keselamatan jika yang lewat mobil ambulance, karena itu tandanya ada yang meninggal atau sakit, atau pasien korban lalu lintas yang butuh penanganan cepat. Mendoakan agar musibah kebakaran cepat padam jika yang lewat mobil pemadam.

Itulah bedanya. Nyata sekali.

Sementara itu. Beberapa tahun yang lalu. Dalam kisah teladan para penerus kholifah Islam. Ada sebuah kisah yang patut ditiru. Saat kholifah Sulaiman bin Abdul Malik, kholifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia saat itu sedang thowaf di masjidil Harom diiringi kedua putranya di belakangnya. Beliau saat itu hendak bertemu dengan seorang ulama tabi'in Atho bin Abi Robah, seorang ulama satu-satunya yang boleh memberikan fatwa di kota Mekkah. Ketika pengawal akan menghalau kerumunan orang-orang yang sedang thowaf agar jalan untuk kholifah menjadi lapang, maka dengan tegas kholifah melarangnya.
" Ini adalah suatu tempat dimana tidak ada bedanya antara rakyat dengan raja, tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain kecuali karena amal dan taqwanya".

Ucapan yang sungguh keluar dari seorang kholifah yang memahami hakikat dirinya. Tidak merasa harus membedakan diri dengan yang lain, tidak perlu mengambil jalan orang lain untuk memuluskan tujuan dan keperluannya.

Ah, andai saja semua jalan itu seperti masjid. Yang tidak perlu dikawal sekedar bisa lewat dan membiarkan yang lain terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar