Catatan hati seorang istri
"Nak, kalau suatu saat nanti kamu menemukam ibu sudah tidak bernyawa lagi, kamu sudah tahu pelakunya siapa".
Pesan seorang ibu kepada anak lelakinya. Saat dirinya sudah ada di ujung rasa. Tidak kuat lagi. Puluhan tahun bukan waktu yang singkat bagi rumah tangga yang dijalaninya. Selama itu pula batinnya tertekan. Suaminya bukan saja pemalas, suka minum, tapi juga suka main tangan. Ringan sekali. Puluhan tahun itu pula hidupnya hanya bergantung pada pemberian keluarga suaminya. Bukan usaha sendiri. Karena memang mereka kaya raya. Hingga akhirnya, si ibu memilih mengakhiri saja rumah tangganya. Daripada harus mati konyol di tangan suaminya. Dia kembali ke kampung halamannya. Hidup seadanya. Bahkan kekurangan. Tapi paling tidak, batin dan raganya bebas. Tidak lagi jadi samsak katena menjadi pelampiasan emosi suaminya.
Kabar perceraiannya membuat saya bahagia. Alhamdulillah. Biarlah berpisah. Daripada harus terus disiksa. Lahir dan batinnya.
Mengingat kisahnya, saya teringat dengan seorang tetangga dekat. Belasan tahun lalu. Sebut saja Rani. Seorang istri dengan sifatnya yang pendiam.
Saya kadang merasa heran dengannya. Kenapa bisa menikah dengan lelaki itu? Suaminya. Seorang lelaki dengan paras tidak jelek, tapi juga tidak terlalu tampan. Penghasilannya biasa saja. Tidak berlebih. Seorang guru les biasa.
Selama rumahtangga, Rani dan suaminya berjauhan. Pulang hanya beberapa kali dalam seminggu, atau sebulan. Saat itu anaknya baru satu. Lelaki. Masih terhitung balita.
Cerita awal pernikahannya ternyata hanya satu saja alasannya. Menurut suaminya, Rani adalah wanita yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya yang sudah meninggal. Itu saja. Hanya itu.
Saya?
Sungguh heran.
Pertemuan mereka pun tidak disengaja. Pada aslinya. Dipertemukan Alloh dalam satu perjalanan yang sama. Lalu terlibat obrolan. Tidak lama dari itu lantas menikah.
Sudah saya tulis. Rani itu sifatnya pendiam. Di mata saya. Entah, pendiam karena masalah, atau memang aslinya begitu. Tapi makin lama makin diam. Bahkan saat ngobrol dengan saya, selalu saja ada air mata yang tidak dapat dia tahan. Meskipun selalu dia akhiri dengan senyuman.
Akhirnya saya tahu. Dia sakit. Hati dan raganya. Bahkan dia jujur, kalau dia sering tidak bisa mendengar. Alias budeg, kata dia. Sambil tersenyum getir. Sungguh sangat dipaksakan. Kepala belakangnya sering terasa sakit luar biasa. Bekas pukulan tangan suaminya.
Rani istri yang bermasalah?
Tidak. Saya bersaksi bahwa dia istri yang baik. Hanya saja sejak telinganya tidak mendengar dengan jelas, lalu perintah atau permintaan suaminya sering dia acuhkan. Bukan tidak taat, tapi tidak terdengar. Setelah itu, suaminya akan marah besar. Meski awalnya hanya masalah kecil. Sangat emosional sekali. Itulah sifat suaminya. Salah sedikit, maka mulutnya akan bicara kasar, dan tangannya akan melayang. Memukul Rani.
Saya?
Tak bisa berbuat banyak untuk menolongnya. Karena Rani selalu saja menghindar ketika dia "sedang" disiksa suaminya. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Lalu berusaha sabar dan menerimanya. Baginya, suaminya adalah tempat baktinya. Meskipun wajahnya tak bisa berbohong saat bertemu, karena bekas siksaan itu ada di sana. Kasihan.
Sampai satu hari, Rani dan suaminya pindah ke Jakarta. Rumahnya dijual. Karena usaha suaminya mengalami kemunduran. Ekonominya jatuh. Sampai akhirnya kabar terakhir saya terima. Rani menyerah. Memilih bercerai. Setelah anaknya yang dulu masih balita itu meninggal.
Saya bahagia mendengarnya. Biarlah dia lepas dari suaminya yang bagi saya tak lebih dari seorang predator. Karena bicaranya yang kasar dan tangannya yang selalu melayang. Suami yang kasar dan suka main tangan itu membahayakan. Tidak pantas disabari terlalu lama.
Maka, saat seorang teman mengadukan kisah tetangganya yang lebih memilih berpisah sementara dengan suaminya karena takut kena pukul lagi, saya sungguh memakluminya. Dia menceritakannya sambil menangis di pelukan teman saya. Mengeluhkan kepalanya yang masih terasa sakit sisa pukulan. Padahal sudah berlalu lebih dari dua bulan. Mengerikan.
Bagi saya, suami adalah seseorang yang jelas sekali punya kekurangan. Entah dari sisi yang mana. Tapi kalau sudah memukul istri dan itu jadi kebiasaan atau tabiat, maka menghindarinya akan jauh lebih baik.
Islam itu adil dan mudah. Menikah dan bercerai sudah diatur. Menikah adalah berkah. Tapi bercerai bukan berarti musibah.
Dan saya terkadang salut pada banyak istri yang masih sanggup bertahan dengan tabiat suami yang suka memukul dan juga kasar. Semoga Alloh ringankan bebannya. Alloh perbaiki rumah tangganya. Tentu saja dengan tambahan syarat. Perbaiki terus hubungan dengan Alloh, semoga Alloh pun memperbaiki hidup kita, rumahtangga kita.
Jangan lupakan satu hal, sebutkan nama suami dalam doa-doa kita. Mintakan kepada Alloh agar dilembutkan hatinya. Dijadikan hatinya penuh dengan kasih sayang kepada keluarga, hususnya kepada istri. Jikapun Alloh belum mengabulkannya, Islam memberikan pilihan. Bertahan, atau berpisah.
Eka Rosaria