Jika saja setiap suami tahu bagaimana rasanya menjadi sendiri saat sudah berdua, sakit. Seperti itulah rasanya. Orang yang diharapkan jadi sandaran, nyatanya hanya bisa diam. Orang yang diandalkan saat kesepiaan, ternyata hanya bisu.
Bagi seorang istri, merasa bingung memahami diamnya suami dalam kondisi demikian adalah sama bingungnya seorang suami untuk memahami bahasa 'terserah' seorang istri. Kenapa bisa seperti itu? Kenapa hanya diam? Kenapa tidak bersuara?
Perasaan tersakiti yang tersimpan tanpa tersampaikan, pada akhirnya akan menjadi bom waktu. Meledak kapan saja. Di situlah seorang suami akhirnya baru merasakan bahwa kemarahan istri padanya adalah 'kedurhakaannya'. Tanpa mau tahu, apa sebabnya.
Hidup tak akan lepas daripada hukum sebab akibat. Tak ada asap tanpa api.
Maka tak selayaknya diamnya suami saat istri membutuhkan dukungannya dipertahankan. Bicaralah! Peluklah! Dukunglah! Karena saat seorang wanita sudah lepas dari tanggungjawab orangtuanya, dirimulah sandarannya setelah Alloh.
Istri hanya butuh dibela. Tak perlu suami melawan ibunya. Cukup hibur istrinya. Seandainya memang istrinya bersalah, tegurlah dengan penuh rasa sayang. Seandainya justru tak bersalah, mintakan maaf atas nama ibunya. Damailah rumahtangga. Asal suaramu keluar, wahai yang namanya suami.